D'ECEIVER - D' Twelve Science Five Crew

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

    Sejarah - Orde Baru

    Exterminator Hexapoda
    Exterminator Hexapoda
    Guild Founder
    Guild Founder


    Posts : 68
    Join date : 18.09.09
    Location : Guild Heighliner

    Sejarah - Orde Baru Empty Sejarah - Orde Baru

    Post by Exterminator Hexapoda Tue Nov 10, 2009 5:24 pm

    No Kabinet Pembangunan Inti Pembangunan
    1 Kabinet Pembangunan I Rehabilitasi ekonomi khususnya untuk mengankat hasil pertanian dan penyempurnaan sistem irigasi dan transportasi
    2 Kabinet Pembangunan IIPeningkatan standard hidup bangsa Indonesia melalui sandang, pangan, dan papan
    3 Kabinet Pembangunan III Peningkatan standard pertanian untuk swasenbada dan pemantapan industri yang mengelola bahan baku menjadi bahan jadi
    4 Kabinet Pembangunan IV Peningkatan standard pertanian untuk swasembada pangan dan peningkatan industri untuk memproduksi mesin ringan/berat.
    5Kabinet Pembangunan VPeningkatan standard sektor industri dengan pertumbuhan mantap disektor pertanian
    6 Kabinet Pembangunan VI Proses tinggal landas menuju terwujudnya masyarakat yang maju, adil, dan mandiri

    Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
    Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
    Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
    Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
    Selain tekanan demonstrasi massa, juga akibat mundurnya 14 menteri menyusul Abdul Latief dari jabatannya sebagai menteri Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya. Menteri-menteri tersebut mengundurkan diri pada malam hari 20 Mei 1998, pukul 20.00 WIB melalui surat yang diterima Yusril Ihza Mahendra yang diteruskan kepada Mensesneg saat itu, Saadilah Mursyid. Surat tersebut berbunyi:
    Hal: Pembentukan Kabinet Baru Jakarta 20 Mei 1998 Kepada Yth. Bapak Presiden RI
    Dengan hormat
    Bersama surat ini dengan hormat kami laporkan bahwa setelah melakukan evaluasi terhadap situasi akhir-akhir ini terutama di bidang ekonomi, kami berkesimpulan bahwa situasi ekonomi kita tidak akan mampu bertahan lebih dari 1 (satu) minggu apabila tidak diambil langkah-langkah politik yang cepat dan tepat sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat khususnya mengenai reformasi di segala bidang, seperti antara lain yang direkomendasi oleh DPR-RI dengan pimpinan fraksi-fraksi pada hari selasa, 19 Mei 1998.
    Dalam hubungan itu kami bersepakat bahwa langkah pembentukan kabinet baru sebagaimana yang bapak rencanakan tidak akan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami secara pribadi-pribadi menyatakan tidak bersedia diikutsertakan dalam kabinet baru tersebut.
    Sebagai anggota Kabinet Pembangunan VII kami akan tetap membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas yang Bapak emban dalam menyukseskan Catur krida Kabinet Pembangunan VII. Atas perhatian dan perkenan Bapak kami ucapkan terima kasih.
    Hormat kami,
    1.Ir. Akbar Tanjung 2. Ir. Drs. AM. Hendropriyono, SH, SE, MBA 3. Prof. Dr. Ir. Ginanjar Kartasasmita 4. Ir. Giri Suseno Hadihardjono, MSME 5. Dr. Haryanto Dhanutirto 6. Prof. Dr. Ir. Justika S. Baharsjah, M.Sc 7. Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, M.Sc 8. Ir. Rachmadi Bambang Sumadhijo 9. Prof. Dr. Ir. Rahadi Ramelan, M.Sc 10. Subiakto Tjakrawedaya, SE 11. Sanyoto Sastrowardoyo, M.Sc 12. Ir. Sumahadi, MBA 13. Drs. Theo L. Sambuaga 14. Tanri Abeng, MBA.
    Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.

    Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada.

    Latar belakang dan kejadian
    Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.

    Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri--militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.

    Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.

    Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.

    Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
    Rentang waktu
    10.30 -10.45
    Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan. Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
    10.45-11.00
    Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.
    11.00-12.25
    Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen, karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.
    12.25-12.30
    Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
    12.30-12.40
    Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang) dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib pada saat turun ke jalan.
    12.40-12.50
    Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar.
    12.50-13.00
    Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Walikota Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan.
    13.00-13.20
    Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Sementara negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.
    13.20-13.30
    Tim negoisasi kembali dan menjelaskan hasil negoisasi di mana long march tidak diperbolehkan dengan alasan oleh kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Dilain pihak pada saat yang hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
    13.30-14.00
    Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
    14.00-16.45
    Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.
    Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
    16.45-16.55
    Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tapi setelah dibujuk oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau bergerak mundur.
    16.55-17.00
    Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.
    Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat yang menyamar.
    17.00-17.05
    Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta Kapolres agar masing-masing baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama mundur.
    17.05-18.30
    Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
    Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata dihampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang berada diantara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.
    Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
    Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
    Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
    18.30-19.00
    Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju RS.
    19.00-19.30
    Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi.
    19.30-20.00
    Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
    20.00-23.25
    Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban, mahasiswa berangsur-angsur pulang.
    Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi
    01.30
    Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Usakti Prof Dr Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto.



    Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei - 15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.

    Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.

    Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Hal yang memalukan ini mengingatkan seseorang kepada peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.

    Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut.

    Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut.


    Krisis Finansial
    Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
    Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.
    Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan Septemer. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
    Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
    Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden.


    Soeharto turun takhta
    Pada 21 Mei 1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya di televisi.

    Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia di tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.

    Mekipun sempat menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya, Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh B.J. Habibie.
    Dalam pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor berakhirnya era Soeharto.

    KESEPAKATAN CIGANJUR
    Pertemuan empat tokoh nasional, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Amien
    Rais, Megawati Soekarnoputri dan Sri Sultan Hamengkubuwono X di
    kediaman Gus Dur di Ciganjur kemarin (10/Nop/98) atas prakarsa
    mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan Bandung telah
    menghasilkan delapan kesepakatan yang pada intinya, menurut saya,
    tidak satupun yang berbeda dengan yang sedang diperjuangkan oleh
    Fraksi yang saat ini sedang bersidang di Gedung DPR/MPR Jakarta.
    Hanya ada satu perbedaan yang saya anggap tidak signifikan yaitu tentang percepatan Sidang Umum setelah pelaksanaan Pemilu dari rencana antara Pemerintah dengan MPR pada Desember 1999 diusulkan menjadi Agustus 1999. Itupun tercetus barangkali karena kekurang-pahaman
    keempat tokoh tersebut tentang seluk-beluk pelaksanaan Sidang Umum setelah Pemilu. Malahan kalau mau jujur dan teliti usulan Fraksi yang sedang bersidang saat ini melebihi kesepakatan keempat tokoh tersebut, diantaranya Fraksi Utusan Daerah mengusulkan agar P4 dihapuskan karena pemborosan, yang tidak sempat teridentifikasi oleh keempat tokoh tersebut.
    Walaupun pertemuan tersebut tidak terlalu istimewa, karena hasil kesepakatannya tidak berbeda dengan yang sedang diperjuangkan didalam Sidang Istimewa (SI) saat ini, saya berharap semoga mahasiswa yang tadinya menolak SI yang juga yang memprakarsai pertemuan tersebut
    mencabut penolakannya terhadap pelaksanaan SI tersebut. Toh aspirasi mereka sama dengan aspirasi anggota majelis. Sehingga demonstrasipun rasanya perlu dikurangi, yang akhirnya bisa memberikan kesempatan kepada warga Jakarta dan sekitarnya untuk melakukan aktivitas
    sebagaimana biasanya.


    Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka - luka.

    Awal
    Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
    Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.

    Garis waktu
    Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi.
    Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
    Esok harinya Jumat tanggal 13 November 1998 mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
    Deskripsi

    Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
    Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
    Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala.
    Tragedi Semanggi II
    Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.
    Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.
    Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.
    Daerah lain
    Selain di Jakarta, pada aksi penolakan UU PKB ini korban juga berjatuhan di Lampung dan Palembang. Pada Tragedi Lampung 28 September 1999, 2 orang mahasiswa Universitas Lampung, Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah, tewas tertembak di depan Koramil Kedaton. Di Palembang, 5 Oktober 1999, Meyer Ardiansyah (Universitas IBA Palembang) tewas karena tertusuk di depan Markas Kodam II/Sriwijaya.

    Peringatan
    Pada 14 November 2005, para mahasiswa menaburkan bunga di Jl. Sudirman tepat di depan kampus Universitas Atma Jaya untuk memperingati tujuh tahun Tragedi Semanggi I. Sehari sebelumnya, peringatan Tujuh Tahun Tragedi Semanggi I diadakan di Sekretariat Jaringan Solidaritas Keluarga Korban Pelanggaran HAM (JSKK), Jalan Binong 1A, samping kompleks Tugu Proklamasi. Dimulai dengan konferensi pers, diskusi, dan ditutup dengan pemutaran film dokumenter Perjuangan Tanpa Akhir karya AKKRa (Aliansi Korban Kekerasan Negara).



    Pengusutan

    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam pertemuannya dengan Presiden Habibie saat itu meminta pemerintah untuk memberi penjelasan tentang sebab dan akibat serta pertanggungan jawab mengenai peristiwa tanggal 13 November itu secara terbuka pada masyarakat luas karena berbagai keterangan yang diberikan ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan. (Kompas, 16 November 1998).

    Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, dalam jumpa pers di Hankam mengakui ada sejumlah prajurit yang terlalu defensif dan menyimpang dari prosedur, menembaki dan memukuli mahasiswa. Namun, Wiranto menuduh ada kelompok radikal tertentu yang memancing bentrokan mahasiswa dengan aparat, dengan tujuan menggagalkan Sidang Istimewa. (Kompas, 23 November 1998).

    Pengadilan HAM ad hoc
    Harapan kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II untuk menggelar pengadilan HAM ad hoc bagi para oknum tragedi berdarah itu dipastikan gagal tercapai. Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada 6 Maret 2007 kembali memveto rekomendasi tersebut. Putusan tersebut membuat usul pengadilan HAM kandas, karena tak akan pernah disahkan di rapat paripurna. Putusan penolakan dari Bamus itu merupakan yang kedua kalinya. Sebelumnya Bamus telah menolak, namun di tingkat rapim DPR diputuskan untuk dikembalikan lagi ke Bamus. Hasil rapat ulang Bamus kembali menolaknya. Karena itu, hampir pasti usul yang merupakan rekomendasi Komisi III itu tak dibahas lagi.
    Rapat Bamus dipimpin Ketua DPR Agung Laksono. Dalam rapat itu enam dari sepuluh fraksi menolak. Keenam fraksi itu adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PPP, Fraksi PKS, Fraksi PBR, dan Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (BPD). Sementara fraksi yang secara konsisten mendukung usul itu dibawa ke paripurna adalah Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB), Fraksi PAN, dan Fraksi PDS.
    Keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR, ini menganulir putusan Komisi III-yang menyarankan pimpinan DPR berkirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc-membuat penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia Trisakti dan Semanggi semakin tidak jelas.
    Pada periode sebelumnya 1999-2005, DPR juga menyatakan bahwa kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran berat HAM. 9 Juli 2001 rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus TSS, disampaikan Sutarjdjo Surjoguritno. Isi laporan tersebut:
    F-PDI P, F-PDKB, F-PKB (3 fraksi ) menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I dan II terjadi unsur pelanggaran HAM Berat.
    Sedangkan F-Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F -Reformasi, F-KKI, F-PDU (7 fraksi) menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS

    Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1999 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 7 Juni 1999 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 1999-2004.

    Pemilihan Umum ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan setelah runtuhnya Orde Baru dan juga yang terakhir kalinya diikuti oleh Provinsi Timor Timur.

    Pemilihan Umum ini diikuti oleh 48 partai politik, yang mencakup hampir semua spektrum arah politik (kecuali komunisme yang dilarang di Indonesia). Penentuan kursi dilakukan secara proporsional berdasarkan persentase suara nasional.



    NoPartaiJumlah SuaraPersentaseJumlah Kursi
    1.Partai Indonesia Baru192.7120,18%0
    2.Partai Kristen Nasional Indonesia369.7190,35%0
    3.Partai Nasional Indonesia377.1370,36%0
    4.Partai Aliansi Demokrat Indonesia85.8380,08%0
    5.Partai Kebangkitan Muslim Indonesia289.4890,27%0
    6.Partai Ummat Islam269.3090,25%0
    7.Partai Kebangkitan Ummat300.0640,28%1
    8.Partai Masyumi Baru152.5890,14%0
    9.Partai Persatuan Pembangunan11.329.90510,71%58
    10.Partai Syarikat Islam Indonesia375.9200,36%1
    11.Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan35.689.07333,74%153
    12.Partai Abul Yatama213.9790,20%0
    13.Partai Kebangsaan Merdeka104.3850,10%0
    14.Partai Demokrasi Kasih Bangsa550.8460,52%5
    15.Partai Amanat Nasional7.528.9567,12%34
    16.Partai Rakyat Demokratik78.7300,07%0
    17.Partai Syarikat Islam Indonesia 1905152.8200,14%0
    18.Partai Katolik Demokrat216.6750,20%1
    19.Partai Pilihan Rakyat40.5170,04%0
    20.Partai Rakyat Indonesia54.7900,05%0
    21.Partai Politik Islam Indonesia Masyumi456.7180,43%1
    22.Partai Bulan Bintang2.049.7081,94%13
    23.Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia61.1050,06%0
    24.Partai Keadilan1.436.5651,36%7
    25.Partai Nahdlatul Ummat679.1790,64%5
    26.Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis365.1760,35%1
    27.Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia328.6540,31%1
    28.Partai Republik328.5640,31%0
    29.Partai Islam Demokrat62.9010,06%0
    30.Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen345.6290,33%1
    31.Partai Musyawarah Rakyat Banyak62.0060,06%0
    32.Partai Demokrasi Indonesia345.7200,33%2
    33.Partai Golongan Karya23.741.74922,44%120
    34.Partai Persatuan655.0520,62%1
    35.Partai Kebangkitan Bangsa13.336.98212,61%51
    36.Partai Uni Demokrasi Indonesia140.9800,13%0
    37.Partai Buruh Nasional140.9800,13%0
    38.Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong204.2040,19%0
    39.Partai Daulat Rakyat427.8540,40%1
    40.Partai Cinta Damai168.0870,16%0
    41.Partai Keadilan dan Persatuan1.065.6861,01%4
    42.Partai Solidaritas Pekerja49.8070,05%0
    43.Partai Nasional Bangsa Indonesia149.1360,14%0
    44.Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia364.2910,34%1
    45.Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia180.1670,17%0
    46.Partai Nasional Demokrat96.9840,09%0
    47.Partai Umat Muslimin Indonesia49.8390,05%0
    48.Partai Pekerja Indonesia63.9340,06%0
    Jumlah105.786.661100,00%462


    KELOMPOK HABIBIE BERKERAS MENGHINDARI SU MPR 1999

    JAKARTA, (SiaR, 31/8/99). Kelompok Habibie, yang dimotori Tim Siluman pimpinan Hariman Siregar-Fanny Habibie terus melakukan gerilya politik untuk memperjuangkan BJ Habibie menjadi presiden kembali. Selain melakukan penggalangan massa di masyarakat dengan merekrut ormas-ormas Islam dan kelompok-kelompok masyarakat pinggiran, mereka juga bergerilya di gedung DPR/MPR Senayan.
    "Mereka menginginkan adanya Sidang Istimewa MPR hasil Pemilu 1997 sebagai forum pertanggungjawaban. Sebab jika bertanggung jawab dihadapan Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999, maka kemungkinannya pertanggungjawabannya bisa ditolak dan tertutrup kemungkinan untuk mencalonkan lagi. Kalaupun diterima, memerlukan perjuangan panjang," kata Muchyar Yara, orang Golkar kubu Akbar Tanjung. Tujuannya: menghidari pertanggungjawaban BJ Habibie di
    SU MPR yang sudah pasti akan ditolak PDI-P dan PKB.

    Dan menurut informasi, sejumlah pimpinan DPR/MPR hasil pemilu 1997 sebenarnya sudah terpengaruh dengan gerilya politik kelompok Habibie itu. Harmoko, Abdul Gafur, Ismael Hasan Metareum telah menunjukkan kesetujuannya. Hanya saja, ide tersebut ditolak pimpinan fraksi-fraksi di Badan Pekerja MPR. "Pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie harus disampaikan di hadapan Sidang Umum (SU) MPR hasil Pemilu 1999. Mustahil Habibie menyampaikan
    pertanggungjawaban di hadapan MPR yang mengangkatnya," demikian kesimpulan Rapat Pimpinan Badan Pekerja MPR di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Senin
    (30/8).

    Rapat yang dipimpin Wakil Ketua MPR Pudjono Pranyoto itu dihadiri Wakil Ketua BP MPR, A Rustandi (Fraksi ABRI), Sri Redjeki (Fraksi Karya Pembangunan), Tosari Widjaya (Fraksi Persatuan Pembangunan), Harsoko Sudiro (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia), dan Edi Waluyo (Fraksi Utusan Daerah).

    Menurut Tosari, secara teknis tidak mungkin mengadakan Sidang Istimewa MPR untuk acara pertanggungjawaban presiden dalam waktu yang cuma satu bulan tersisa. Sesuai keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), SU MPR I dengan acara pelantikan anggota MPR/ DPR diselenggarakan pada 1 Oktober 1999. "Artinya Sidang Istimewa MPR harus sebelum 1 Oktober, yaitu 29 September. Sesuai Tata Tertib MPR, dua minggu sebelum sidang, materi yang dibahas dalam
    sidang harus diterima seluruh anggota dua minggu sebelumnya, yaitu 15 September," tutur Wakil Ketua BP MPR dari F-PP itu.

    Sejumlah anggota DPR/MPR mengatakan, kalaupun dalam waktu singkat seluruh fraksi sepakat mengadakan sidang MPR untuk pertanggungjawaban presiden, kehendak itu tidak bisa begitu saja dapat dilaksanakan. Sebab, itu bertentangan dengan Ketetapan (Tap) No X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara.

    Bab V butir Pelaksanaan Tap itu dengan tegas menyebutkan, Sebagai Mandataris MPR, Presiden memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara kepada MPR hasil Pemilu 1999.

    "Jadi jelas Habibie harus menyampaikan pertanggungjawabannya di hadapan MPR hasil Pemilu 1999. Kalau dipaksakan, artinya MPR mengingkari Ketetapannya sendiri," tegas Tosari Wijaya.

    Gagasan kemungkinan Habibie memberikan pertanggungjawaban di hadapan MPR yang mengangkatnya itu mengemuka setelah Ketua Badan Pekerja MPR bertemu dengan sejumlah pakar politik yang dekat Habibie pada tanggal 26 dan 27 Agustus 1999. Para pakar yang diundang oleh pimpinan BP MPR adalah Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, anggota F-PP MPR Rasyid Sulaiman dan Prof Dr Ismail Suny. Ketiga pakar ini memang disodorkan Tim Siluman Habibie untuk maksud
    itu. Siasat licik ini pertama kali diucapkan Yusril Ihza yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang di Universitas Islam 1945 Bekasi. Yusril mengatakan Presiden seharusnya mempertanggungjawabkan mandatnya kepada MPR yang memberinya mandat.

    Mereka bertiga membenarkan bahwa dari segi hukum tata negara, pertanggungjawaban presiden harus disampaikan kepada MPR yang memilih/mengangkat dan yang memberikan mandat. Berdasarkan pendapat itu, berarti Presiden BJ Habibie menyampaikan pertanggungjawaban kepada MPR yang memilih/mengangkat dan yang memberikan mandat. Namun, mengingat Tap No
    X/MPR/1998, menegaskan Presiden memberikan pertanggungjawaban kepada MPR hasil Pemilu 1999 dalam SU MPR 1999, maka mereka menyarankan MPR hasil Pemilu 1997 perlu melaksanakan Sidang Istimewa MPR untuk mengubah ketentuan tersebut.

    "Dengan demikian pertanggungjawaban Habibie bisa diterima MPR dan bisa maju dalam pencalonan presiden kembali", ujar sumber SiaR










    Daftar pustaka
    http://www.mail-archive.com/indonews@indo-news.com/msg04022.html
    http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti
    http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1998-sekarang)
    http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1968-1998)
    http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilu_1999
    http://www.scribd.com/kabinet_pembangunan
    http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Semanggi
    http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Mei_1998
    http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto
    http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/11/11/0008.html
    risalah_16022006172516.pdf
    http://id.wikipedia.org/wiki/BJ_Habibie
    Exterminator Hexapoda
    Exterminator Hexapoda
    Guild Founder
    Guild Founder


    Posts : 68
    Join date : 18.09.09
    Location : Guild Heighliner

    Sejarah - Orde Baru Empty Re: Sejarah - Orde Baru

    Post by Exterminator Hexapoda Tue Nov 10, 2009 5:52 pm

    Bung Karno membakukan pidato itu dengan formulasi Panca Azimat Revolusi. Kelima formulasi itu adalah,
    (1) Nasakom (sejak tahun 1926 dalam tulisan nasionalisme, Islamisme, marxisme).
    (2) Pancasila yang lahir tahun 1945.
    (3) Manipol/USDEK lahir tahun 1959,
    (4) Trisakti (berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan) tahun 1964, dan
    (5) Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) lahir tahun 1965.

    Kelima tonggak Panca Azimat Revolusi merupakan kesaksian sejarah kemanusiaan. Sebab keseluruhannya berisi amanat penderitaan rakyat di seluruh dunia. Ajaran Panca Azimat Revolusi (soekarnoisme), seluruhnya berisi membangun kemerdekaan bangsa-bangsa, sosialisme perdamaian dunia yang adil dan beradab.

    Pada pidato 17 Agustus 1965, Bung Karno antara lain berdoa semoga gagasan-gagasan dan ajaran-ajarannya hidup seribu tahun lagi. Doa bapak itu adalah amanah bagi bangsa dan kami anak-anaknya.

    ***

    BUNG Karno mencurahkan seluruh daya upaya untuk membangun kekuatan nasional dan internasional dalam rangka memutus garis hidup kolonialisme, neokolonialisme, dan neo-imperialisme yang berusaha mempertahankan cengkeramannya dalam kehidupan bangsa-bangsa. Perjuangan Bung Karno bukan hanya untuk Indonesia, tetapi untuk seluruh umat manusia. Untuk itu Bung Karno menjalankan strategi global guna
    melakukan perubahan dunia menuju keadilan sosial, kemerdekaan bangsa, dan tata susunan dunia baru. Sehingga, Bung Karno menjadikan dirinya sebagai anak zaman dan ikut mengarahkan jalannya sejarah kemanusiaan.

    Hal itu juga yang menimbulkan ketidakpahaman sebagian besar komponen bangsa Indonesia terhadap Bung Karno. Kondisi itu ditambah usaha-usaha kekuatan neokolonialisme, neo-imperialisme internasional yang sudah lama berobsesi akan menorpedo seluruh kerja besar Bung Karno. Situasi itu bermuara dalam Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok) yang menggulingkan kekuatan Bung Karno secara nasional maupun internasional.

    Sebagai seorang patriot, Bung Karno tidak gentar menghadapi usaha itu, sebab sudah menyadari, pengabdiannya tidak berhenti karena diputus kematian sekalipun. Karena itu dengan tegar dan teguh dia menerima Wisma Yaso yang mengubur fisiknya (pengucilan oleh rezim yang menggulingkan). Peristiwa ini merupakan saksi bahwa Bung Karno rela mengorbankan dirinya untuk satu cita-cita agung. Dan ia menyerukan kepada seluruh rakyat untuk diam.

    Itulah yang menyebabkan Bung Karno dengan seluruh ajarannya yang tersimpul dalam Panca Azimat Revolusi tidak pernah mengenal out of date. Bung Karno dan ajarannya sudah bersenyawa dalam jeritan amanat penderitaan rakyat dan sudah terpateri dalam hati sanubari rakyat Indonesia dan rakyat-rakyat yang mendambakan keadilan sosial dan perdamaian dunia.

    Ajaran Bung Karno adalah satu paket. Tidak bisa dipisahkan satu sama lain, tidak bisa ditambah dan dikurangi, bahkan tidak bisa ditafsirkan begitu saja. Saya yakin ajaran Bung Karno bukan hanya relevan atau hanya alternatif untuk menghadapi situasi Indonesia dan dunia saat ini, tetapi suatu keharusan untuk dilaksanakan sekarang dan mendatang. Itu keyakinan saya yang tidak ingin hanya disebut anak biologis tetapi juga sebagai anak ideologis Bung Karno.

      Waktu sekarang Fri Apr 26, 2024 2:45 pm